Nama : Rudy Hartono Kurniawan
Lahir : Surabaya, 18 Agustus 1949
Menikah : 28 Agustus 1976
Istri : Jane Anwar
Anak : Christoper dan Christine
Prestasi :
Juara tunggal putra All England 8 kali (1968, 1969, 1970, 1971, 1972, 1973, 1974, dan 1976)
Runner-Up All England 2 kali (1975, 1978)
Juara bersama Tim Indonesia dalam Thomas Cup 4 kali (1970, 1973, 1976 dan 1979)
Juara Dunia World Championship, 1980
Juara Denmark Open 3 kali (1971, 1972, 1974)
Juara Canadian Open 2 kali (1969, 1971)
Juara US Open, 1969
Juara Japan Open, 1981
Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI (1981-1985)
Penghargaan :
Asian Heroes, TIME Magazine, 2006
Olahragawan terbaik SIWO/PWI (1969 dan 1974)
IBF Distinguished Service Award 1985
IBF Herbert Scheele Trophy 1986 – penerima pertama
Honorary Diploma 1987 dari the International Committee’s “Fair Play” Award
Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama
* * * * * *
Pria kelahiran 1949 ini pernah diabadikan namanya dalam Guiness Book of World Records pada tahun 1982 karena berhasil membawa Indonesia meraih juara All England delapan kali dan memenangkan Thomas Cup sebanyak empat kali. Rudy Hartono yang juga pernah dinobatkan sebagai salah satu “Asian Heroes” kategori “Athletes & Explorers” versi Majalah Time ini lahir dengan nama Nio Hap Liang. Rudy merupakan anak ketiga dari keluarga Zulkarnaen Kurniawan. Dua kakak Rudy, Freddy Harsono dan Diana Veronica juga pemain olahraga bulutangkis kendati baru pada tingkat daerah.
Masa Kecil
Rudy kecil sangat tertarik mengikuti beragam olahraga di sekolah, terutama atletik. Saat masih SD, ia suka berenang. Di SMP, ia suka bermain bola voli dan SMA, ia menjadi pemain sepakbola yang baik. Meski demikian, bulutangkis menjadi minatnya yang paling besar.
Saat usia 9 tahun, Rudy sudah menunjukkan bakatnya pada olahraga ini. Namun ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan, baru menyadari bakatnya ini saat Rudy berusia 11 tahun. Setelah ayahnya menyadari bakat anaknya, maka Rudy kecil mulai dilatih secara sistematik pada Asosiasi Bulu Tangkis Oke dengan pola latihan yang telah ditentukan oleh ayahnya. Sekedar informasi, ayah Rudy juga pernah menjadi pemain bulu tangkis di masa mudanya. Zulkarnain pernah bermain di kompetisi kelas utama di Surabaya. Zulkarnain pertama kalinya bermain untuk Asosiasi Bulu Tangkis Oke yang dia dirikan sendiri pada tahun 1951. Di asosiasi ini ayah Rudy juga melatih para pemain muda. Program kepelatihannya ditekankan pada empat hal utama yaitu: kecepatan, pengaturan nafas yang baik, konsistensi permainan dan sifat agresif dalam menjemput target. Tidak mengherankan banyak program kepelatihannya lebih menekankan pada sisi atletik, seperti lari jarak panjang dan pendek dan juga latihan melompat (high jump).
Saat di Oke, Rudy untuk pertama kali memulai program latihannya yang disusun sedemikan rupa. Sebelumnya Rudy lebih banyak berlatih dengan turun ke jalan. Ia berlatih di jalan-jalan beraspal yang seringkali masih kasar dan penuh kerikil, di depan kantor PLN di Surabaya, yang sebelumnya bernama Jalan Gemblongan.
Awal Karier Profesional
Setelah beberapa lama bergabung dengan grup ayahnya, akhirnya Rudy memutuskan untuk pindah ke grup bulutangkis yang lebih besar yaitu Rajawali Group yang telah banyak menghasilkan pemain bulutangkis dunia. Pada awal bergabung dengan grup ini, Rudy merasa sudah menemukan tempat terbaik dalam mengembangkan kemampuannya dalam bulutangkis. Namun, setelah mendapat masukan dari ayahnya, ia mengakui bahwa jika ingin kemampuan dan kariernya di bulutangkis meningkat maka ia harus pindah ke tempat latihan yang lebih baik. Oleh karena itu, Rudy lantas bergabung dengan Pusat Pelatihan Nasional untuk Thomas Cup di akhir 1965.
Setelah bergabung dengan Pusat Pelatihan Nasional untuk Thomas Cup, kemampuannya meningkat pesat. Ia menjadi bagian dari tim Thomas Cup yang menang pada 1967. Setahun kemudian, di usia 18 tahun ia meraih juara yang pertama di Kejuaraan All England mengalahkan pemain Malaysia Tan Aik Huang dengan skor 15-12 dan 15-9. Ia kemudian menjadi juara di tahun-tahun berikutnya hingga 1974.
Namun, nampaknya kedigdayaannya tidak berlangsung lama. Pada 1975, ia kalah dari Svend Pri. Tetapi, gelar juara All England ia rebut kembali pada 1976. Bersama tim Indonesia, Rudy menjuarai Thomas Cup pada 1970, 1973 dan 1976. Setelah absen selama dua tahun, Rudy tampil kembali pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis II di Jakarta, 1980. Semula dimaksudkan sebagai pendamping, ternyata secara mengagumkan Rudy keluar sebagai juara. Berhadapan dengan Liem Swie King di final, pada usia 31 tahun Rudy membuktikan dirinya sebagai maestro yang tangguh.
Stuart Wyatt, presiden dari Asosiasi Bulutangkis Belanda berkata, “Tidak diragukan lagi, Rudy Hartono adalah pemain tunggal terbesar di jamannya. Ia handal dalam segala aspek permainan, kemampuannya, taktiknya, dan semangatnya.” Juara tujuh kali berturut-turut dan yang ke delapan (1968-1976) menjadi bukti akan hal itu.
Rekornya ini merupakah hasil dari kemampuannya yang luar biasa di bidang kecepatan dan kekuatan dalam bermain. Gerakannya nyaris menguasai seluruh area lantai permainan. Ia tahu kapan harus bermain reli atau bermain cepat. Sekali ia melancarkan serangan, lawannya nyaris tidak berkutik. Namanya sudah menjadi jaminan untuk menjadi pemenang, sebab ia hampir tidak pernah kalah. Meski ia sudah mengundurkan diri, banyak orang masih percaya bahwa ia masih bisa menjadi pemenang. Mungkin inilah alasan mengapa orang menjulukinya ‘Wonderboy’.
Doa adalah Kunci Suksesnya
Banyak orang ingin tahu kunci keberhasilannya. Rudi menjawab, “Berdoa” Dengan berdoa, Rudy memperkuat pikiran dan iman. Berdoa tidak hanya sebelum bertanding, tetapi juga selama bertanding. Itu melibatkan kata-kata atau ekspresi yang akan membangkitkan percaya diri dalam hati dan pikiran.
Untuk setiap poin yang ia peroleh selama bertanding, ia ucapkan terima kasih kepada Tuhan, “Terima kasih Tuhan untuk poin ini.” Dia terus berkata seperti itu hingga skor terakhir dan pertandingan berakhir. Ia mengatakan kebiasaannya ini dalam biografinya yang diedit oleh Alois A. Nugroho. Ia percaya bahwa manusia berusaha namun Tuhan yang memutuskan.
“Saya melakukan itu dalam semua pertandingan besar khususnya All England. Bagi saya ini adalah kenyataan. Kita berusaha tetapi Tuhan yang memutuskan. Saya juga percaya bahwa kalau kita kalah memang sudah ditentukan demikian, dan kalau kita menang, itu juga adalah kehendak Tuhan. Kalah adalah hal yang alami, karena sebagai manusia kita semua pernah mengalami kekalahan. Pemahaman ini akan melepaskan stress selama bertanding, mengurangi ketakutan, dan kegusaran, “ kata Rudy menjelaskan.
Kehidupan Pasca Gantung Raket
Rudy tetap terlibat dalam olahraga yang ia tekuni semenjak kecil ini, walau hanya dari pinggir lapangan. Olahragawan terbaik SIWO/PWI (1969 dan 1974) ini menjadi Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI dalam kurun waktu 1981-1985 di bawah kepengurusan Ferry Sonneville.
Sejak itu, ia memusatkan perhatian pada pembinaan pemain-pemain yang lebih muda, yang diharapkan dapat menggantikannya. Dari klub yang dipimpinnya, misalnya, lahir Eddy Kurniawan yang, kendati belum berprestasi secara stabil, mampu membunuh raksasa bulu tangkis Cina seperti Zao Jianghua atau Yang Yang. Pemain-pemain belasan tahun seperti Hargiono, Hermawan Susanto. atau Alan Budi Kusuma, juga banyak menerima sentuhan Rudy, untuk bisa tampil dalam kancah pertarungan dunia kelak.
Selain itu, dengan materi yang dimilikinya, ditunjang oleh hubungan yang luas dengan banyak pengusaha, dan hasil kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta, Rudy mengembangkan bisnis. Peternakan sapi perah di daerah Sukabumi adalah awal mulanya ia bergerak dalam bisnis susu. la juga bergerak dalam bisnis alat olahraga dengan mengageni merk Mikasa, Ascot, juga Yonex. Kemudian melalui Havilah Citra Footwear yang didirikan pada 1996, ia mengimpor berbagai macam pakaian olahraga. Selain itu, Rudy pun pernah menjadi pengusaha oli merek Top 1 dan menjadi pemain dalam film “Matinya Seorang Bidadari” pada tahun 1971 bersama Poppy Dharsono.
Berkat nama besarnya di dunia bulutangkis, United Nations Development Programme (UNDP) menunjuk Rudy sebagai duta bangsa untuk Indonesia. UNDP adalah organisasi PBB yang berperang melawan kemiskinan dan berjuang meningkatkan standar hidup, dan mendukung para perempuan. Di mata UNDP, Rudy menjadi sosok terbaik sebagai duta kemanusiaan. Kiprahnya di dunia olahraga dan kerja kerasnya menjadi juara dunia menjadi teladan bagi generasi yang lebih muda. “Ia menjadi teladan,” kata Ravi Rajan, Resident Representative of UNDP in Indonesia (Gatra 8 November 1997).
Kini, Rudy tidak lagi mengayunkan raketnya di udara. Faktor usia dan kesehatan membuat ia tidak bisa melakukannya. Sebab sejak ia menjalani operasi jantung di Australia pada 1988, ia hanya bisa berolahraga dengan berjalan kaki di seputar kediamannya. Walaupun demikian, dedikasinya pada bulutangkis tidak pernah mati.